Jumat, 02 November 2012

Negara dan agama dalam masyarakat pluralistik



Masih adakah Indonesia di masa depan jika kekerasan berlatar agama terus terjadi? Ada apa dengan toleransi antar umat beragama dewasa ini hingga perbedaan selalu berujung pertikaian? Ke mana spirit kerukunan yang merupakan identitas bangsa Indonesia? Lantas, kebijakan apa yang mestinya diperankan negara untuk merawat pluralitas Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan di atas relevan diajukan seiring masih kerap terjadinya amuk massa berlabel agama, sekaligus merupakan refleksi atas peringatan hari ulang tahun Sumpah Pemuda ke-83 beberapa hari lalu.
Terjadinya konflik berlatar SARA sesungguhnya menegaskan bahwa intoleransi masih merajalela, Bhineka Tunggal Ika dalam ancaman, dan kerukunan antarumat beragama dan penganut kepercayaan berada pada titik mengkhawatirkan.
Tentu Bung Karno dan Bung Hatta, tidak pernah menduga bahwa Indonesia bakal diporak-porandakan aneka konflik horisontal bernuansa agama. Padahal, dahulu kedua tokoh berhasil menyatukan anak bangsa dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan golongan untuk melawan kolonialis. Bahkan jauh sebelum proklamasi 1945, Soekarno, Hatta dan para pendiri Republik lainnya telah sukses mewujudkan kebhinekaan dalam keekaan melalui ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Tragisnya, kini spirit “berbeda dalam persatuan” dan “bersatu dalam perbedaan” yang diinisiasi lewat Sumpah Pemuda tampak makin redup. Kebersamaan terasa rapuh. Hal ini membuktikan Indonesia sesungguhnya belum merdeka dalam toleransi dan kemajemukan. Kebangsaan Indonesia tengah terpental jauh ke belakang.
Peran Negara
Menyikapi berbagai peristiwa anarkis berlatar agama, pemerintah berupaya mencari solusi terbaik. Namun, tepatkah dalam negara demokrasi, negara (baca: pemerintah) bertanggung jawab terhadap kualitas keimanan warganya agar masuk surga? Berwenangkah negara memberi stigma sesat dan tidak sesat pada warganya?
Terkait dengan hal ini, negara tampaknya telah salah kaprah menjalankan tanggung jawabnya. Urusan yang mestinya menjadi wewenang negara semisal memberantas korupsi, mengatasi kemacetan, menangani banjir, memerangi kemiskinan, menyediakan pendidikan dan kesehatan murah-berkualitas, jauh dari optimal dikelola dan dijalankan negara. Sebaliknya, negara latah mengurus iman umat yang sebenarnya di luar tanggung jawabnya.
Negara perlu belajar dari syair lagu Iwan Fals berjudul “Manusia Setengah Dewa”. Lewat lagunya, sang musisi menjelaskan distingsi antara tanggung jawab negara dan yang bukan tanggung jawab negara. Berikut petikan syairnya, “…Masalah moral masalah akhlak, biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu. Peraturan yang sehat yang kami mau. Tegakkan hukum setegak-tegaknya. Adil dan tegas tak pandang bulu. Pasti kuangkat engkau, menjadi manusia setengah dewa”.
Yang tepat, dalam perspektif konstitusional tidak ada kategori warga negara yang sesat atau saleh, yang ada adalah warga negara yang disiplin dan warga negara yang kriminal karena melanggar hukum. Pengajar Filsafat dari Universitas Indonesia (UI), Rocky Gerung menyatakan negara wajib memisahkan keyakinan iman individu dengan perilakunya di hadapan hukum. Negara tidak bisa menghukum warganya karena pikiran maupun keyakinan religiusnya. Maka, sesat atau salehnya warga negara, bukan wilayah otoritas negara sebab yang berdaulat di Republik Indonesia adalah pasal-pasal konstitusi, bukannya ayat-ayat kitab suci.
Konstitusi Republik Indonesia tegas mengamanatkan agar negara melindungi dan menjamin hak hidup segenap warga negara Indonesia, apapun keyakinan yang dianutnya. Maksudnya, negara tidak boleh memusuhi keyakinan apapun. Negara harus netral dan mengambil jarak yang sama terhadap semua agama dan keyakinan sesuai prinsip persamaan dan keadilan yang merupakan nilai fundamental dalam demokrasi.
Itu berarti, perlu etika dalam berbeda pendapat. Wacana harus dilawan dengan wacana, bukan dengan pentungan atas nama Tuhan, atau fatwa sesat. Karena itu, sikap toleransi dalam perbedaan menjadi penting. Menghargai pluralitas kehidupan berbangsa merupakan bagian dari penghayatan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.
Penting disadari, peran negara adalah menjamin kebebasan atau otonomi warganya, bukan meniadakannya. Termasuk kebebasan menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan sesuai pilihannya. Karena itu, negara wajib menindak tegas pelaku kekerasan yang merenggut kebebasan warga lainnya. Pantang bagi negara mendiamkannya, sebab itu berarti negara melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (violence by omossion).
Dalam tatanan demokrasi, tidak ada entitas lain di masyarakat yang boleh menggunakan instrumen kekerasan, kecuali (aparat) negara. Max Weber menyatakan, negara memegang the monopoly of the legitimate use of physical force. Hal ini bukan hanya bertujuan menjaga kedaulatan negara, tetapi sekaligus menjaga ketertiban di masyarakat. Tanpa monopoli penggunaan kekerasan oleh negara, tertib masyarakat akan punah.
Kesalehan Sosial
Pemahaman atas nilai-nilai agama seringkali memunculkan wajah paradoksal agama. Pada satu sisi menampilkan sosok lembut, pada sisi lain sosok sangar-menakutkan. Tak heran, hanya karena berbeda keyakinan, ada kelompok warga yang merasa berhak menindas hak hidup warga lainnya. Maka, terkait pemahaman atas nilai-nilai agama, teolog legendaris Karen Armstrong menyatakan setelah ia berinteraksi dengan hal-hal ilahiah, ia sampai pada satu kesimpulan bahwa teologi yang baik adalah yang menawarkan keramahan dan kedamaian kepada mereka yang berbeda, bukannya permusuhan dan kekerasan. Itu berarti, teologi yang buruk adalah yang mengajarkan permusuhan, merawat kebencian serta menyuburkan pertikaian. Yang pasti, Tuhan yang disembah adalah Tuhan yang mengajarkan perdamaian, kasih dan persaudaraan. Maka, sebagai umat beragama, agar masuk surga, selain fokus mencapai kesalehan indivual dengan menjalin relasi intim dengan Tuhan, umat beragama perlu mengupayakan kesalehan sosial dengan berempati, berdamai dan bersolider dengan sesama yang berbeda,
Di sinilah negara dan pemerintah bisa berperan, yaitu dengan memfasilitasi dan mendorong suasana di mana kesalehan sosial bisa tumbuh subur dan bukannya malah bernafsu mengurus moralitas dan iman pribadi warganya, yang sesungguhnya merupakan perbuatan lancang karena mencaplok otoritas Tuhan. ***
*Penulis, Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional, Jakarta, Presenter News and Talks TVRI Nasional, Jakarta.

Comment:
            Current sense of tolerance of Indonesian society began to fade. It can be seen from the fighting between students lately. Differences should there be diversity in the community. When there is no longer diversity anymore, Indonesia as a bigger cultural diversity will be lost.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar