Masih adakah Indonesia di masa depan jika kekerasan berlatar
agama terus terjadi? Ada apa dengan toleransi antar umat beragama dewasa ini
hingga perbedaan selalu berujung pertikaian? Ke mana spirit kerukunan yang
merupakan identitas bangsa Indonesia? Lantas, kebijakan apa yang mestinya
diperankan negara untuk merawat pluralitas Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan di atas relevan diajukan seiring masih kerap
terjadinya amuk massa berlabel agama, sekaligus merupakan refleksi atas
peringatan hari ulang tahun Sumpah Pemuda ke-83 beberapa hari lalu.
Terjadinya konflik berlatar SARA sesungguhnya menegaskan bahwa
intoleransi masih merajalela, Bhineka Tunggal Ika dalam ancaman, dan kerukunan
antarumat beragama dan penganut kepercayaan berada pada titik mengkhawatirkan.
Tentu Bung Karno dan Bung Hatta, tidak pernah menduga bahwa
Indonesia bakal diporak-porandakan aneka konflik horisontal bernuansa agama.
Padahal, dahulu kedua tokoh berhasil menyatukan anak bangsa dari berbagai latar
belakang suku, agama, ras, dan golongan untuk melawan kolonialis. Bahkan jauh
sebelum proklamasi 1945, Soekarno, Hatta dan para pendiri Republik lainnya
telah sukses mewujudkan kebhinekaan dalam keekaan melalui ikrar Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928.
Tragisnya, kini spirit “berbeda dalam persatuan” dan “bersatu
dalam perbedaan” yang diinisiasi lewat Sumpah Pemuda tampak makin redup.
Kebersamaan terasa rapuh. Hal ini membuktikan Indonesia sesungguhnya belum
merdeka dalam toleransi dan kemajemukan. Kebangsaan Indonesia tengah terpental
jauh ke belakang.
Peran Negara
Menyikapi berbagai peristiwa anarkis berlatar agama, pemerintah
berupaya mencari solusi terbaik. Namun, tepatkah dalam negara demokrasi, negara
(baca: pemerintah) bertanggung jawab terhadap kualitas keimanan warganya agar
masuk surga? Berwenangkah negara memberi stigma sesat dan tidak sesat pada
warganya?
Terkait dengan hal ini, negara tampaknya telah salah kaprah
menjalankan tanggung jawabnya. Urusan yang mestinya menjadi wewenang negara
semisal memberantas korupsi, mengatasi kemacetan, menangani banjir, memerangi
kemiskinan, menyediakan pendidikan dan kesehatan murah-berkualitas, jauh dari
optimal dikelola dan dijalankan negara. Sebaliknya, negara latah mengurus
iman umat yang sebenarnya di luar tanggung jawabnya.
Negara perlu belajar dari syair lagu Iwan Fals berjudul “Manusia
Setengah Dewa”. Lewat lagunya, sang musisi menjelaskan distingsi antara
tanggung jawab negara dan yang bukan tanggung jawab negara. Berikut petikan
syairnya, “…Masalah moral masalah akhlak, biar kami cari sendiri. Urus saja
moralmu, urus saja akhlakmu. Peraturan yang sehat yang kami mau. Tegakkan hukum
setegak-tegaknya. Adil dan tegas tak pandang bulu. Pasti kuangkat engkau,
menjadi manusia setengah dewa”.
Yang tepat, dalam perspektif konstitusional tidak ada kategori
warga negara yang sesat atau saleh, yang ada adalah warga negara yang disiplin
dan warga negara yang kriminal karena melanggar hukum. Pengajar Filsafat dari Universitas Indonesia (UI), Rocky Gerung menyatakan negara
wajib memisahkan keyakinan iman individu dengan perilakunya di hadapan hukum.
Negara tidak bisa menghukum warganya karena pikiran maupun keyakinan
religiusnya. Maka, sesat atau salehnya warga negara, bukan wilayah otoritas
negara sebab yang berdaulat di Republik Indonesia adalah pasal-pasal konstitusi,
bukannya ayat-ayat kitab suci.
Konstitusi Republik Indonesia tegas mengamanatkan agar negara
melindungi dan menjamin hak hidup segenap warga negara Indonesia, apapun keyakinan yang
dianutnya. Maksudnya, negara tidak boleh memusuhi keyakinan apapun. Negara
harus netral dan mengambil jarak yang sama terhadap semua agama dan keyakinan
sesuai prinsip persamaan dan keadilan yang merupakan nilai fundamental dalam
demokrasi.
Itu berarti, perlu etika dalam berbeda pendapat. Wacana harus
dilawan dengan wacana, bukan dengan pentungan atas nama Tuhan, atau fatwa
sesat. Karena itu, sikap toleransi dalam perbedaan menjadi penting. Menghargai
pluralitas kehidupan berbangsa merupakan bagian dari penghayatan Bhineka
Tunggal Ika dan Pancasila.
Penting disadari, peran negara adalah menjamin kebebasan atau
otonomi warganya, bukan meniadakannya. Termasuk kebebasan menganut atau
menetapkan agama atau kepercayaan sesuai pilihannya. Karena itu, negara wajib
menindak tegas pelaku kekerasan yang merenggut kebebasan warga lainnya. Pantang
bagi negara mendiamkannya, sebab itu berarti negara melakukan kejahatan
terhadap kemanusiaan (violence by omossion).
Dalam tatanan demokrasi, tidak ada entitas lain di masyarakat yang
boleh menggunakan instrumen kekerasan, kecuali (aparat) negara. Max Weber
menyatakan, negara memegang the monopoly of the legitimate use of physical
force. Hal ini bukan hanya bertujuan menjaga kedaulatan negara, tetapi
sekaligus menjaga ketertiban di masyarakat. Tanpa monopoli penggunaan kekerasan
oleh negara, tertib masyarakat akan punah.
Kesalehan Sosial
Pemahaman atas nilai-nilai agama seringkali memunculkan wajah
paradoksal agama. Pada satu sisi menampilkan sosok lembut, pada sisi lain sosok
sangar-menakutkan. Tak heran, hanya karena berbeda keyakinan, ada kelompok
warga yang merasa berhak menindas hak hidup warga lainnya. Maka, terkait
pemahaman atas nilai-nilai agama, teolog legendaris Karen Armstrong menyatakan
setelah ia berinteraksi dengan hal-hal ilahiah, ia sampai pada satu kesimpulan
bahwa teologi yang baik adalah yang menawarkan keramahan dan kedamaian kepada
mereka yang berbeda, bukannya permusuhan dan kekerasan. Itu berarti, teologi
yang buruk adalah yang mengajarkan permusuhan, merawat kebencian serta
menyuburkan pertikaian. Yang pasti, Tuhan yang disembah adalah Tuhan yang
mengajarkan perdamaian, kasih dan persaudaraan. Maka, sebagai umat beragama,
agar masuk surga, selain fokus mencapai kesalehan indivual dengan menjalin
relasi intim dengan Tuhan, umat beragama perlu mengupayakan kesalehan sosial
dengan berempati, berdamai dan bersolider dengan sesama yang berbeda,
Di sinilah negara dan pemerintah bisa berperan, yaitu dengan
memfasilitasi dan mendorong suasana di mana kesalehan sosial bisa tumbuh subur
dan bukannya malah bernafsu mengurus moralitas dan iman pribadi warganya, yang
sesungguhnya merupakan perbuatan lancang karena mencaplok otoritas Tuhan. ***
*Penulis, Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) Universitas Nasional, Jakarta, Presenter
News and Talks TVRI Nasional, Jakarta.
Comment:
Current sense
of tolerance of Indonesian society began to fade. It can be seen from the
fighting between students lately. Differences should there be diversity in the
community. When there is no longer diversity anymore, Indonesia as a bigger
cultural diversity will be lost.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar